A.
Pendahuluan
Salah satu
bentuk keyakinan Ahlu Sunnah wal Jama’ah[2]
yang membedakannya dengan Syiah[3], yaitu keyakinan terhadap pemegang kepemimpinan umat Islam
sepeninggal Rasulullah. Bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah pemegang kepemimpinan
umat sepeninggal Rasulullah sesuai urutannya yaitu: Abu Bakar, Umar,
Utsman kemudian Ali. Mereka ini disebut al-Khulafa’u ar-Rasyidun. Masing-masing
dari khalifah ini, diangkat melalui Syūra (musyawarah) para pemuka
sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar yang kemudian diikuti oleh seluruh umat
Islam pada saat itu.[4] Sebaliknya, dalam keyakinan Syiah hanya Ali dan
keturunannyalah yang berhak memangku kursi kekhilafahan sepeninggal Rasulullah.[5]
Untuk menjastifikasi keyakinan tersebut, Syiah
menyandarkan ke beberapa hadits yang terdapat dalam literatur mereka dan
literatur Ahlus Sunnah. Salah satunya yaitu hadits Ghadir Khum.[6]
Dalam keyakinan Syiah, hadits tersebut merupakan dalil paling kuat yang
menunjukkan bahwa Ali telah ditunjuk langsung oleh Rasulullah menjadi pemimpin
sepeninggal beliau.[7]
Keyakinan Syiah
terhadap hadits Ghadir Khum sebagai dalil penobatan Ali bukan hanya sekedar
wacana. Akan tetapi, sudah terealisasikan dan terimplementasikan. Salah satu
buktinya, dengan
menjadikan hari Ghadir Khum sebagai hari raya tersendiri selain dua hari raya
yang selama ini diyakini kaum muslimin.[8]
Mereka menyebutnya dengan hari raya Idul Ghadir. Hari
raya tersebut pertama kali dirayakan pada
abad ke-4 H. Pencetusnya adalah Mu’izh Daulah Ali bin
Buwaih ketika menguasai sebagian wilayah Irak abad ke-4 H.[9] Perayaan Idul Ghadir juga
pernah dirayakan di Indonesia. Salah satunya oleh kelompok Syiah yang tergabung
dalam Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Tepatnya pada Sabtu 26
Oktober 2013 di Gedung SMESCO, Jalan Gatot Subroto Kav 94, Jakarta Selatan. Perayaan tersebut juga didukung berbagai kalangan akademisi, elit
politik dan budayawan.[10].
Oleh sebab itu,
tulisan ini berusaha menyingkap status hadits Ghadir Khum yang diyakini Syiah
sebagai dalil penobatan Ali menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah, dan menjelaskan
bagaimana pemahaman yang benar darinya.
B.
Hadits Ghadir Khum dalam Literatur Syiah
Riwayat
hadits Ghadir Khum banyak ditemukan dalam berbagai kitab Syiah.[11]
Seperti dalam buku Uṣūl al-Kāfi karangan al-Kulaini,[12]
Bihār al-Anwār karangan
al-Majlisi, al-Ghadīr fī al-Kitāb wa as-sunnah wa al-Adab karangan Abdul
Husein al-Amini[13], 'Idul Ghadīr 'Aẓamu al-'Ayād fī al-Islām karangan Sayyid Muhammad
al-Huseini as-Syairazi[14] dan Ghadir Khum wal Ḥadats Yalih as-Syiah fī al-Lughah wa al-Kitāb wa as-Sunnah karangan
Sayyid Amir Ali al-Musawi al-Qazwaini[15]. Banyaknya periwayatan dan pencantuman hadits tersebut
dalam buku-buku Syiah, tiada lain guna melegitimasi keyakinan mereka terhadap
ke-imamah-an Ali dan keturunannya sepeninggal Rasulullah.[16] Adapun teks hadits Ghadir Khum yang diyakini Syiah ke-mutawatir-annya
sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Majlisi (w. 1110 H) dari jalur Dhamrah
bin Syaudzab yaitu,
“Berkata kepadaku (as-Shaduq)
al-Hasan bin Muhammad as-Sakuni dari Ibrahim bin Muhammad bin Yahya dari Abu
Ja’far as-Sary dan Abu Nashr bin Musa al-kalal kedua-duanya dari dari Ali bin
Said dari Dhumrah bin Syaudzab dari Mathar dari Syahri bin Hasyab dari Abu
Hurairah ia berkata: “Barang siapa yang shaum pada hari kedelapan belas
Dzulhijah maka dihitung baginya seperti shaum enam puluh bulan dan itu dalah
hari Ghadir Khum ketika Rasulullah memegang tangan Ali bin Abi Thalib seraya bersabda:
bukankah aku adalah walinya orang-orang yang beriman? para sahabat menjawab
tentu wahai Rasulullah. beliau bersabda: barang siapa yang menjadikan aku
sebagai maulanya (pemimpinya -versi Syiah) maka Ali adalah maulanya. maka
ketika itu Umar bin khatab berkata: “Bagus-bagus, selamat atasmu wahai Ali kau
telah menjadi maulaku (pemimpinku-versi Syiah) dan maula setiap muslim. maka
Allah menurunkan QS. Al-Maidah 5: 3 “Alyauma Akmaltu...”[17]
Hadits yang
diriwayatkan oleh al-Majlisi (w. 1110 H) di atas dinilai
oleh Ibnu Katsir (w. 774 H) sebagai hadits munkar.[18] Ke-munkar-an
hadits tersebut disebabkan karena dua hal. Pertama, QS. Al-Maidah 5:3
yang diyakini Syiah turun pada peristiwa tersebut bertentangan dengan hadits
shahih riwayat Bukhari dan Muslim.[19]
Sebab, faktanya ayat tersebut turun beberapa hari sebelum peristiwa Ghadir
Khum, tepatnya pada hari jum’at ketika Rasulullah wukuf di Arafah. Kedua,
keyakinan bahwa puasa pada tanggal 18 Dzulhijah seperti puasa enam puluh bulan
tidaklah benar. Sebab, tidak ada pahala puasa yang melebihi pahala puasa
Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat
imam Muslim[20]
bahwa puasa di bulan Ramadhan senilai puasa sepuluh bulan. Padahal puasa
Ramadhan merupakan ibadah puasa yang paling baik dan merupakan puasa wajib. Sedangkan puasa pada 18 Dzulhijah selain tidak ada dasar
syariatnya, ia hanya merupakan puasa sunnah di sisi Syiah.[21] Maka,
keyakinan Syiah bahwa hadits tersebut merupakan hadits shahih bahkan mutawatir
tidaklah benar. Sebab, pada hakikatnya hadits tersebut merupakan hadits munkar.
Terdapat riwayat lain tentang Ghadir
Khum dari Syiah dengan beberapa tambahan lafazh. Tambahan-tambahan lafazh tersebut yaitu;
“Penulis kitab an-Nasyr dan ath-Thay berkata
tentang matan hadits Ghadir secara sempurna, yaitu lafazhnya.... Rasulullah
bersabda: "Aku bersaksi dengan tauhid ibadah dan
rubibiyah-Nya untuk menyampaikan apa yang Allah wahyukan
kepadaku agar aku tidak tertimpa kebinasaan..
Telah
turun ayat kepadaku “wahai Rasul sampaikan apa yang
telah diwahyukan kepadamu dari Rabbmu” al-Maidah 5;67
wahai segenap manusia aku tidak mengurang-ngurangi (menutup-nutupi) apa yang
telah diwahyukan Allah dan akan aku jelaskan kepada
kalian sebab turun ayat ini. Sesungguhnya
Jibril berkali-kali mendatangiku dan memerintahkanku agar aku selamat untuk menyampaikan di tempat yang bisa
disaksikan guna mengajarkan orang yang berkulit putih dan hitam
bahwa Ali adalah saudaraku dan khalifahku sekaligus imam sepeninggalku. Tidak ada seorang pun yang berhak mengurusi urusan orang-orang
yang beriman (memimpin-versi Syiah) sepeninggalku
kecuali Ali.”[22]
"Qutaibah telah
menceritakan kepada kami ia berkata: telah menceritakan kepada kami Ja’far bin
Sulaiman adh-Dhub’i dari Yazid ar-Risyk, dari Mutharif bin Abdullah dari Imran
bin Husein ia berkata: Rasulullah mengutus pasukan yang dipimpinn oleh Ali bin
Abi Thalib. Setelah
peperangan usai, Ali mengambil untuknya salah satu tawanan. Perbuatan Ali
tersebut tidak disenangi oleh para pasukannya. Kemudian empat orang di antara
para sahabat nabi yang menjadi pasukan Ali saling
berjanji untuk memberitahukan perbuatan Ali tersebut jika bertemu Rasulullah. Di antara kebiasaan kaum muslimin pada saat itu
jika pulang dari bepergian mereka menemui Rasulullah dan mengucapkan salam
terlebih dahulu kepada beliau, kemudian baru pulang ke rumah
masing-masing. Ketika para pasukan yang diutus Rasulullah tersebut pulang,
mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah, kemudian
salah seorang dari keempat sahabat yang saling berjanji tersebut berkata kepada
Rasulullah, wahai Rasulullah apakah engkau tidak mengetahui bahwa Ali telah
berbuat seperti ini dan seperti ini? Namun Rasulullah berpaling dari orang
tersebut. Begitu juga orang kedua, ketiga sampai keempat. Setelah orang yang
keempat menyampaikan kaduannya, Rasulullah menemui mereka dengan wajah yang
menampakkan kemarahan seraya bersabda: “apa yang kalian
inginkan dari Ali?” Sampai tiga kali. Sesunguhnya
Ali bagian dariku dan aku adalah bagian darinya. Dia adalah
walinya(pemimpin-versi Syiah) setiap mukmin sepeninggalku.“[23]
“Telah
menceritakan kepada Ibnu Numair dari Ajlaj al-Kindi,
dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya (Buraidah) ia berkata: Rasulullah
mengutus dua pasukan perang ke Yaman. Salah satu pasukan dipimpim oleh Ali bin
Abi Thalib sedangkan satu pasukan lainnya di bawah komando Kalid bin Walid. Ia
(Buraidah) berkata: “kami berhadapan dengan Bani Zaid dari penduduk Yaman dan
kami perangi mereka hingga kaum muslimin meraih kemenangan atas orang-orang
musyrik. Kami bunuh orang-orang yang memerangi kami dari golongan mereka dan
kami tawan sebagian mereka. Ketika itu Ali bin Abi Thalib memilih salah satu
tawanan untuk dirinya sendiri. Buraidah berkata, melihat perbuatan Ali itu,
maka aku dan Khalid bin Walid menulis surat kepada Rasulullah memberitahukan
beliau tentang hal tersebut. Maka tatkala aku bertemu Rasulullah dan aku
serahkan surat tersebut ketika dibacakan kepada beliau aku
melihat kemarahan dari wajah Rasulullah, aku berkata wahai Rasulullah ini
adalah tempat berlindung. Engkau telah
mengutusku bersama seseorang dan telah memerintahkanku untuk mentaatinya. Maka
aku telah berbuat sebagaimana yang telah aku kirimkan dalm suratku kepadamu.
Mendengar itu Rasulullah bersabda: janganlah engkau mencela
Ali karena sesungguhnya Ali adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darinya
dan dia adalah wali (pemimpin-versi Syiah) kalian sepeninggalku, sesungguhnya
Ali adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darinya dan dia adalah wali
(pemimpin-versi Syiah) kalian sepeninggalku.[24]
Tambahan-tambahan
lafazh pada
hadits pertama yang diriwayatkan oleh al-Majlisi (w. 1110 H) tersebut tidak shahih dari segala sisi. Bahkan tidak terdapat dalam seluruh
kitab hadits Ahlus Sunnah. Sedangkan tambahan lafazh pada hadits kedua dan
ketiga yaitu lafazh Ali adalah wali (pemimpin-versi Syiah) kalian
sepeninggalku, menurut al-Mubarakfury (w. 1353 H) merupakan tambahan dari dua perawi Syiah Ja’far bin Sulaiman dan Ajlah al-Kindiy. Buktinya, seluruh jalur periwayatan imam
Ahmad tentang hadits ini tak satu pun darinya yang mencantumkan tambahan
lafazh-lafazh tersebut.[25] Artinya, terdapat idrāj (penambahan
redaksi) dari Syiah terhadap lafazh hadits Ghadir Khum. Selain itu, seandainya memang benar Rasulullah bersabda bahwa
Ali adalah pemimpin sepeninggal beliau, niscaya Ali akan betul-betul menjadi
pemimpin sepeninggal beliau. Sebab, tidaklah beliau
mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu Allah SWT kepadanya. Dan sesungguhnya Allah
tidak pernah menyelisihi perkataan dan janjinya.”[26]
C.
Sabab Wurud
Hadits Ghadir Khum
Memahami sabab wurud (latar
belakang) yang ada pada hadits termasuk hal terpenting sebelum mengambil
kesimpulan hukum darinya. Sebab, hadits-hadits yang memiliki sabab wurud tidak
mungkin bisa dipahami maksudnya kecuali dengan memahami sabab wurud-nya.
Jika sabab wurud tersebut tidak diperhatikan, maka akan merusak maksud
hadits tersebut.[27]
Membahas
tentang sabab wurud hadits Ghadir Khum menurut Syiah tidak bisa
dilepaskan dari ayat “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu,
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya dan Allah
yang akan melindungimu dari gangguan manusia.”[28]
Dalam pandangan mereka, ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada Rasulullah
untuk menyampaikan kepada umat bahwa Ali adalah pemimpin sepeninggal beliau. Perintah Allah
itu Rasulullah laksanakan dengan mengucapkan hadits
tersebut. Ayat tersebut menurut mereka turun di Ghadir Khum ketika Rasulullah
dan para sahabat yang berjumlah seratus ribu orang lebih dalam perjalanan
pulang menuju Madinah setelah menunaikan haji wada’. Tempat tersebut
juga diyakini Syiah sebagai titik
awal keberangkatan orang-orang dari berbagai daerah sebelum melanjutkan
perjalanan pulang menuju daerah masing-masing.[29]
Menurut Syiah, kalimat terakhir pada QS. Al
Maidah 5:67 mengindikasikan kekhawatiran Rasulullah
terhadap reaksi negatif umat jika beliau menyampaikan perintah Allah terkait
penobatan Ali sebagai pemimpin sepeninggal beliau. Namun, Allah menghibur beliau karena Dia sendiri yang
akan melindunginya. Ayat tersebut kemudian diikuti kalimat kunci yang menurut
Syiah
sebagai dalil yang sangat jelas menunjukkan penobatan Ali
sebagai pemimpin sepeninggal beliau. Yaitu, sabdanya: “Barang siapa yang
menganggapku sebagai maula-nya
(pemimpinnya-versi Syiah), maka Ali adalah maulanya.” Setelah Rasulullah menyampaikan
hal itu, turunlah ayat kedua: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
menjadi agamamu”.[30]
Pada ayat ini, mereka
juga meyakini bahwa Islam tidak akan sempurna tanpa menjelaskan kepemimpinan
Ali sepeninggal Rasulullah.[31]Artinya, dalam pandangan Syiah, sabab wurud hadits Ghadir Khum yaitu perintah Allah
kepada Rasul-Nya untuk menobatankan Ali sebagai pemimpin sepeninggal beliau.
Untuk
menanggapi sabab wurud yang diyakini Syiah di atas, pertama kali yang
akan kita singgung adalah mengenai lokasi Ghadir Khum yang diklaim Syiah sebagai
titik awal pertemuan seratus ribuan sahabat sebelum mengambil rute yang berbeda
menuju daerah masing-masing. Ghadir Khum adalah sebuah tempat yang berada dekat
kota Juhfah. Jarak antara Ghadir Khum dengan kota Mekah sekitar 250 km.[32] Artinya, jarak antara Mekah dengan Ghadir Khum termasuk
jarak yang cukup jauh jika dilihat dari sarana transportasi yang ada pada saat
itu.
Keyakinan Syiah bahwa Ghadir Khum merupakan
titik awal keberangkatan orang-orang sebelum menuju daerah masing-masing tidak
sesuai dengan fakta yang ada. Sebab, tidak ada satu
riwayat pun dari Rasulullah yang menjelaskan bahwa beliau
memerintahkan kaum muslimin untuk pergi ke
Ghadir Khum saat mereka masih berkumpul di Mekah.[33] Selain itu juga, tidak ada riwayat dari Ahlus Sunnah yang
menyatakan bahwa kaum muslimin dari Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain
mengambil rute ke Ghadir Khum terlebih dahulu sebelum pulang ke daerah mereka
masing-masing. Padahal jarak antara Ghadir Khum dengan Mekah sekitar 250 km. Seandainya
hal tersebut benar-benar dilakukan, maka membutuhkan waktu berhari-hari jika
ditinjau dari alat transportasi yang ada pada saat itu.[34] Artinya,
klaim Syiah bahwa tempat tersebut merupakan titik awal keberangkatan bertentangan dengan fakta sebenarnya.
Keyakinan
Syiah lainnya bahwa peristiwa Ghadir Khum disaksikan lebih dari seratus ribuan
sahabat juga bertentangan dengan jumlah sebenarnya. Sebab, jumlah para sahabat
secara keseluruhan yang ikut melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah hanya empat
puluh ribuan sahabat. [35] Yang
mana setelah pelaksanaan haji tersebut setiap dari mereka ada yang kembali ke
daerah masing-masing dan ada yang menetap di Mekah. Orang-orang dari Madinah
kembali ke Madinah, orang-orang dari Tha’if kembali ke Tha’if, orang-orang dari
Yaman kembali ke Yaman, orang-orang dari Iraq kembali ke Iraq dan orang-orang Mekah tetap tinggal
di Mekah. Artinya, ketika Rasulullah berhenti di
Ghadir Khum mayoritas kaum muslimin tidak hadir. Termasuk orang-orang yang
tinggal di Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain yang telah menunaikan haji. Artinya, hanya rombongan yang pergi ke Madinah atau yang melewati
daerah itu saja
yang menyaksikan peristiwa Ghadir Khum tersebut.[36]
Pendapat Syiah
tentang hadits Ghadir Khum juga bisa ditolak jika melihat kepada isi khutbah
Rasulullah pada haji wada’. Dalam khutbahnya, beliau
tidak menyinggung sedikit pun perihal penobatan Ali sebagai pemimpin
sepeninggal beliau.[37] Seandainya Rasulullah ingin menunjuk
Ali sebagai pemimpin sepeninggal beliau, niscaya beliau akan menyampaikan hal tersebut
dalam khutbahnya
yang dapat disaksikan mayoritas
kaum muslimin pada saat itu. Sebab,
saat itu adalah saat yang paling tepat untuk menunjuk Ali karena dapat diumumkan
kepada khalayak umum. Apalagi dalam pandangan Syiah perkara kepemimpinan ini
merupakan rukun iman yang terpenting.[38] Dari sini, setidaknya dapat
disimpulkan bahwa perkara kepemimpinan Ali bukanlah perkara yang
urgen, apalagi mengkategorikannya sebagai salah satu rukun iman sebagaimana
yang diyakini Syiah.
Sebab, Rasulullah tidak pernah menunjuk siapa pun dan dimana pun baik Ali atau selainnya sebagai pemimpin setelah beliau, terutama ketika beliau berkhutbah pada haji wada’ yang bisa disaksikan oleh mayoritas kaum muslimin pada saat itu.
Keyakinan Syiah lainnya
bahwa QS. Al-Maidah 5:
3 dan 67[39] turun di Ghadir
Khum juga bertentangan
dengan fakta
dan konteks dua
ayat tersebut.[40] Sebab, sejatinya dua ayat
tersebut turun beberapa hari sebelum peristiwa Ghadir Khum, tepatnya pada hari
jum’at ketika Rasulullah wukuf di Arafah.[41] Sedangkan
dari sisi konteks QS. Al Maidah 5: 3 berbicara tentang
kesempurnaan kewajiban-kewajiban dan batasan-batasan syariat Allah. Seperti
batasan halal dan haram dalam agama. Adapun konteks QS. Al Maidah 5:67 sendiri dan
ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang pencelaan kepada Ahlul Kitab yang sama sekali
tidak berbicara tentang para sahabat.[42]
Selain itu, tidak mungkin Allah mencela para sahabat setelah mereka menunaikan
ibadah haji padahal Allah telah memuji mereka dalam banyak ayat dalam
al-Qur’an,[43] sebagaimana yang
diungkapkan oleh at-Thabari (W. 310 H) ketika menafsirkan ayat tersebut,
"Ini merupakan perintah Allah yang
mengingatkan Rasul-nya untuk menyampaikan keadaan Ahlu Kitab dari orang-orang
Yahudi dan Nasharani yang telah Allah jelaskan kisah dan keadaan mereka dalam
surat ini, yaitu ayat-ayat yang menyebutkan keburukan-keburukan yang ada pada
diri dan agama mereka serta kelancangan mereka terhadap Rabb mereka……agar
Rasulullah tidak merasa khawatir terhadap gangguan yang akan menimpanya selama
beliau menjalankan perintah Allah ….karena sesungguhnya Allah yang akan
melindungi setiap makhluk-Nya…..”[44]
Sabab wurud hadits Ghadir Khum yang diyakini Syiah
bertolak belakang dengan kenyataan
sebenarnya. Sebab, sabab wurud sebenarnya dari hadits tersebut yaitu, ketika Rasulullah berada di Ghadir Khum beliau mendapatkan
banyaknya kaduan dari pasukan Ali yang kurang setuju dengan keputusan Ali terkait masalah pembagian harta rampasan perang ketika Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk memimpin sariyah sebelum haji
wada’.[45] Melihat
hal tersebut, maka Rasulullah mengingatkan mereka untuk saling berwala’
(mencintai dan tolong-menolong) dan tidak boleh saling mencela dan membenci.
Nasehat beliau ini berlaku umum bagi setiap mukmin, hanya saja dalam hadis ini nasehat
beliau tujukan terkhusus kepada orang-orang yang tidak setuju dengan beberapa
keputusan Ali.[46] Berdasarkan
keterangan sebenarnya dari sabab wurud hadits tersebut, dapat disimpulkan
bahwa tujuan sebenarnya dari sabda Rasulullah di Ghadir Khum bukan dalam rangka
menobatkan Ali sebagai pemimpin sepeninggal beliau sebagaimana yang diyakini
Syiah. Akan tetapi, dalam rangka menasihati umatnya untuk saling mencintai dan
tidak saling membenci.
D.
Hadits Ghadir
Khum dalam Literatur Ahlus Sunnah
Riwayat-riwayat Ahlus Sunnah tentang Ghadir Khum berbeda dengan
riwayat Syiah. Dalam riwayat-riwayat Ahlus Sunnah,
tidak terdapat satu pun tambahan lafazh tentang turunnya QS. Al-Maidah 5;3 pada
peristiwa tersebut. Sedangkan riwayat-riwayat Syiah secara keseluruhan
mencantumkannya. Salah satu hadits tentang Ghadir Khum yang terdapat dalam literatur oleh
Ahlus Sunnah yaitu:“Barang
siapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya (orang yang dicintai), maka Ali
juga sebagai maula-nya, Ya Allah cintailah orang yang mencintainya dan
musuhilah orang yang memusuhinya.”[47]
Setelah
dilakukan penelitian terhadap rijal sanadnya oleh Nashiruddin al-Albani, hadits
di atas merupakan hadits shahih. Alasannya, meskipun pada sanadnya terdapat
sebagian perawi yang dinilai dhaif, akan tetapi ia memiliki syawahid (penguat) dari jalur lain yang menjadikannya shahih.[48] Adapun hadits Ghadir Khum yang disepakati oleh para
ulama keshahihannya, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan lafazh:
“Diriwayatkan
oleh Buraidah ra :Nabi mengutus Ali kepada Khalid untuk membawa harta Khumus
(dari harta rampasan perang) dan saya membenci Ali, dan Ali selesai mandi junub
(sesudah mencampuri seorang budak wanita yang merupakan bagian dari khumus).
Saya katakan kepada Khalid “Tidak kah kamu melihat ini (Ali)?” ketika kami
menjumpai Nabi saya menyebutkan hal itu kepada beliau. Beliau (Nabi) berkata,
“Ya Buraidah! Apakah kamu membenci Ali?” Saya menjawab, “Ya” Beliau berkata,
“Janganlah kamu membencinya, karena dia
(Ali) berhak lebih dari itu mengambil dari Khumus.”[49]
Dari data di atas, meskipun beberapa ulama Ahlus Sunnah juga
mengkategorikan hadits Ghadir Khum selain yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai
hadits shahih, namun, yang perlu dipahami bahwa tidak ada satu pun di antara mereka
yang meyakini hadits tersebut merupakan dalil penobatan Ali sebagai pemimpin sepeninggal Rasulullah.
E.
Makna Kata Maula
dalam Hadits Ghadir Khum
Perbedaan
dalam memaknai kata maula dalam hadits Ghadir Khum merupakan akar permasalahan antara Syiah dengan Ahlus Sunnah dalam memandang siapa yang berhak memimpin sepeninggal Rasulullah. Sebab, makna kata maula yang diinginkan oleh Syiah dalam hadits tersebut jauh berbeda dengan apa yang dimaknai
oleh Ahlus Sunnah. Syiah hanya memaknai kata maula dalam hadits tersebut
dengan makna pemimpin. Sedangkan Ahlus Sunnah tidak demikian. Mereka memaknainya sesuai dengan konteks
hadits tersebut, yaitu makna wala’ iman yang berartikan loyalitas,
kecintaan, pertolongan bukan makna kepemimpinan. Artinya, sumber permasalahan
sebenarnya dari perseteruan antara Syiah dengan Ahlus Sunnah terletak pada perbedaan pemaknaan kata maula dalam
hadits Ghadir Khum.
Syiah meyakini bahwa makna yang
tepat dari kata maula dalam hadits tersebut
adalah makna kepemimpinan. Salah satu ulama mereka yang berpendapat demikian,
yaitu Ibnu Babawaih al-Qummi (w. 381
H). Meskipun ia menyebutkan
makna-makna lain dari kata maula, namun menurutnya makna yang paling sesuai dengan
yang diinginkan oleh Rasululullah adalah orang yang paling diutamakan untuk memimpin. Alasannya, jika tidak terdapat makna yang spesifik dari kata maula selain orang yang paling diutamakan untuk memimpin, maka
yang tersisa dari ungkapan Rasulullah tersebut adalah kewajiban kaum muslimin untuk mentaati Ali, sehingga hak Ali untuk ditaati ini bermaknakan hak
ke-imamah-annya (kepemimpinan).”[50]
Pendapat al-Qummi
diatas dibenarkan oleh ulama Syiah lainnya Muhammad Husein Fadhlullah. Menurutnya,
makna dari kata maula yang tepat adalah wilāyah (kepemimpinan) dan
hakīmiyah (pemutus perkara). Alasannya, memaknai kata maula selain makna wilyāh dan hakīmiyah sangat
bertentangan dengan konteks hadits tersebut. Menurut
al-Qummi, tidak mungkin makna kata maula dalam hadits tersebut dimaknai dengan
ungkapan Rasulullah bahwa orang yang mencintai beliau juga harus mencintai Ali.
Sebab, lafazh “Alastu aulā bi al-mukminīn min anfusihim”
mengandung
makna wilāyah dan hakīmiyah yang memiliki qarinah
(korelasi) dengan QS al-Maidah 5: 57
yang turun sebelumnya. Sehingga makna yang tepat dari
kata maula menurutnya adalah al-walī dan al-hākim yang berartikan
pemimpin.[51]
Untuk
menjawab klaim Syiah terhadap makna kata maula dalam hadits Ghadir Khum
di atas, di bawah ini penulis cantumkan pendapat beberapa ulama tentang makna
sebenarnya dari kata tersebut, disertai keterangan makna kata maula dari
beberapa ayat al-Qur’an dan hadits.
Kata maula dalam hadits Ghadir Khum menurut Imam Syafi’i (w.
204 H) yaitu,
“Maksud
maula di sana yaitu wala’ Islam (loyalitas/kecintaan) sebagaimana firman Allah:
“ Itu karena Allah adalah maula-nya orang-orang yang beriman dan sesungguhnya
orang-orang kafir itu tidak memiliki maula. Adapun perkataan Umar kepada Ali
engkau telah menjadi maula setiap orang yang beriman atau walinya orang-orang
yg beriman. disebutkan bahwa sabab wurud hadits tersebut disebabkan Usamah
berkata kepada Ali sesungguhnya kamu bukan maula-ku, tetapi maulaku adalah
Rasulullah. Maka Rasulullah besabda: “barang siapa yang menganggapku sebagai maulanya maka Ali
adalah maulanya.”[52]
Adapun menurut Ibnu Atsir al-Jazari (w. 606 H) makna kata maula dalam hadits tersebut yaitu,
“Kata maula sering disebutkan di dalam hadits. Kata
tersebut adalah sebuah nama yang diterapkan pada banyak hal. Ia bisa bermaknakan
pemilik, penguasa, tuan, yang memberi nikmat, orang yang memerdekakan, penolong,
yang mencintai, pendukung, tetangga, sepupu, sekutu, yang mengadakan akad,
menantu, budak, yang merdeka, yang diberi nikmat. Sebagian besar makna-makna
ini disebutkan dalam berbagai macam hadits, untuk bisa mengetahui makna yang
tepat darinya harus melihat kepada konteks dimana kata itu disebutkan. Setiap
orang yang mengurusi suatu urusan atau yang bertanggung jawab maka ia
disebutnya maula-nya dan walinya. Sesungguhnya sumber nama-nama ini
berbeda-beda. Al-walāyah dengan mem-fathah-kan huruf waw maknanya nasab, pertolongan dan
orang yang memerdekakan budak. Adapun dengan men-kashrah-kan huruf waw bermakna kepemimpinan. Al wala’ sebutan untuk orang yang
memerdekakan budak . Sedangkan al-muwālah adalah orang yang berwala’
kepada suatu kaum sebagaimana hadits Ghadir Khum barang siapa yang menganggapku
(Rasulullah) sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya dimaknai dengan
makna-makna yang telah disebutkan”[53]
Ali bin Muhammad al-Qari (w. 1014 H) juga mengomentari pendapat Syiah tentang kata maula
dalam hadits tersebut,
“Syiah meyakini bahwa
Ali adalah orang yang mengurusi urusan dan makna hadits tersebut yaitu Ali
memiliki hak kepengurusan di setiap hal sebagaimana hak Rasulullah. Di
antaranya, dalam mengurusi urusan orang-orang yang beriman sebagai pemimpin
mereka. At-Thiyyi’ berkata, “memaknai kata al-walayah dalam hadits tersebut
dengan kepemimpinan yaitu orang yang menguasai urusan orang-orang yang beriman
tidaklah benar. Sebab, orang yang paling berhak secara mutlaq mengurusi urusan
kepemimpinan ketika Rasulullah masih hidup ialah beliau sendiri bukan yang
lainnya. Maka, wajib memaknai kata maula di sana dengan makna kecintaan,
loyalitas Islam dan selainnya.[54]
Terdapat
banyak makna dari kata maula yang disebutkan dalam berbagai ayat
al-Qur’an yang tidak bermaknakan pemimpin. Salah satunya bermakna tempat
berlindung. Sebagaimana firman Allah; “Maka
pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang
kafir, tempat kamu ialah neraka, dia adalah maula kalian (tempat berlindung) dan
dia (neraka) adalah seburuk-buruk tempat kembali.”[55]
Tidak ada terjemahan al-Quran mana pun
yang menterjemahkan kata maula dalam ayat tersebut dengan imam atau khalifah. Sebab, jika diterjemahkan
dengan imam atau khalifah, maka ayat tersebut menjadi tidak berarti. Neraka di
atas disebut sebagai maula (tempat berlindung) untuk orang-orang kafir
karena sangat dekatnya mereka dengannya.[56]
Kata maula dalam ayat lain juga
tidak bisa dimaknai dengan pemimpin. Sebagaiman firman-Nya; “Sesungguhnya Allah adalah maula-nya (penolong) dan (begitu
pula) Jibril, orang-orang mukm`in yang baik; dan selain dari itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”[57] Makna yang tepat
dan sesuai untuk kata maula pada ayat tersebut yaitu
penolong, atau pelindung bukan pemimpin
atau imam.
Sebab, kata walāyah dengan men-fathah-kan huruf waw
artinya menolong, melindungi, mencintai atau arti lainnya yang merupakan
antonim dari memusuhi dan isimnya yaitu maulā dan waliy. Sedangkan
wilayah dengan men-kasroh-kan huruf waw artinya
pemerintahan, dan isim darinya yaitu wāliy dan mutawalliy.[58]
Kata
maula yang tidak bermakna pemimpin juga terdapat dalam beberapa hadits
Rasulullah. Salah satunya hadits beliau yang berbunyi, “Suku Quraisy, Anshar, Juhaina,
Aslam, Ghifar dan Asyja’ adalah Mawali-ku
(para penolong/pelindung terdekatku), dan mereka tidak memiliki pelindung kecuali Allah dan
Rasul-Nya”.[59] Makna yang tepat dari kata mawāli (bentuk plural dari maula)
dalam hadits tersebut ialah para penolong, pelindung, sahabat atau karib, bukan
pemimpin sebagaimana yang diinginkan oleh Syiah. Sebab, jika kata maula dalam hadits tersebut
dimaknai dengan pemimpin, berarti sama saja dengan menganggap Rasulullah adalah
orang yang dipimpin bukan pemimpin umat.
Pemaknaan Syiah terhadap kata maula
dalam hadits Ghadir Khum juga bertentangan dengan pemahaman para sahabat. Sebab, tidak ada satu pun dari para sahabat
yang memahami kata maula dalam hadits tersebut sebagai dalil penobatan kepemimpinan
Ali sepeninggal Rasulullah. Terbukti ketika proses pembaiatan Abu Bakar di
Saqifah Bani Sa’idah. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyatakan bahwa Ali telah ditunjuk
menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Padahal rentang waktu antara peristiwa Ghadir Khum dengan wafatnya
Rasulullah tidak lebih dari tujuh puluh hari.[60]
Justru akhirnya mereka sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah
sepeninggal Rasulullah. Kesepakatan ini disetujui oleh mayoritas kaum muslimin pada saat itu termasuk Ali dan
Ahlu Bait.[61] Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemahaman Syiah terhadap
kata maula dalam hadits tersebut bertolak belakang dengan apa yang
dipahami para sahabat.
Dari
pemaparan data di
atas, dapat disimpulkan bahwa kata maula mempunyai banyak makna. Untuk
mengetahui makna yang tepat dari kata tersebut harus memperhatikan kepada konteks
dan qarinah (indikator) yang
ada dengan kata tersebut. Berdasarkan konteks yang ada, kata maula yang
disebutkan oleh Rasulullah di Ghadir Khum berarti “sahabat dekat” atau “teman
yang dicintai” atau “karib” bukan khalifah ataupun pemimpin sebagaimana yang diyakini Syiah.
F.
Sikap dan Pernyataan
Ahlu Bait.
Kekeliruan keyakinan Syiah terhadap
kepemimpinan Ali sepeninggal Rasulullah yang didasarkan kepada hadits Ghadir
Khum juga bisa dilihat dari sikap dan pernyataan Ahlu Bait
terhadap
para khalifah sebelum mereka. Di antaranya, sikap baik Ali yang
membaiat para
khalifah sebelumnya dengan sukarela tanpa paksaan sedikit pun.[62]Adapun
di antara pernyataan baik Ali kepada para khalifah sebelumnya, yaitu ketika
ia menyebutkan
tingkatan manusia terbaik setelah Rasulullah,
“Wahai segenap manusia! Sesungguhnya manusia
terbaik dari umat ini setelah Rasulullah yaitu Abu Bakar, kemudian Umar,
seandainya aku berkenan menyebutkan yang ketiga, maka akan aku sebutkan.
Kemudian diriwayatkan dari Ali ketika ia turun dari mimbar ia
berkata kemudian Utsman, kemudian Utsman.”[63]
Ungkapan Ali di atas, sangat
jelas menggambarkan keridhaan beliau kepada para khalifah sebelumnya. Ungkapan
ini tidak akan beliau ucapkan jika memang benar apa yang dituduhkan Syiah kepada
para khalifah bahwa kekhilafahan mereka tidak syah karena mereka telah merampas
hak kepemimpinan dari Ali.[64] Sebab, Ali sendiri memuji, menghormati, mengakui keutamaan
mereka dan tidak pernah mengatakan mereka telah
merampas hak kepemimpinannya. Bahkan, pernyataan beliau mengenai Abu Bakar adalah
orang yang paling berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah, selain terdapat
dalam berbagai kitab ulama Ahlus Sunnah,[65] juga tercantum pada salah satu buku rujukan utama Syiah sendiri,
yaitu buku Nahju al-Balaghah yang di-syarah oleh Ibnu Abil Hadid.
Ali berkata setelah pembaitan Abu Bakar,
“Sesungguhnya kami memandang bahwa Abu Bakar adalah
orang yang paling berhak terhadap kekhilafahan, sesungguhnya ia adalah orankg
yang menemani Rasul ketika di dalam gua, orang kedua yang dimaksud dalam
firman-Nya dan sungguh kami betul-betul mengetahui keutamaannya, dialah orang
yang diperintahkan oleh Rasulullah mengimami shalat ketika Rasulullah masih
hidup ”[66]
Keyakinan Syiah terhadap hadits Ghadir Khum juga bertentangan dengan ungkapan al-Hasan
al-Mutsanna (putra Hasan bin Ali bin Abi Thalib). Beliau (al-Hasan
al-Mutsanna) pernah ditanya seseorang mengenai hadits Ghadir Khum. Apakah
ia merupakan
nash bagi kekhilafahan Ali sepeninggal Rasulullah atau bukan? Beliau
menjawab:
“Demi
Allah tidak!
jika Rasulullah menghendaki khilafah, tentu beliau akan mengungkapkannya dengan
tegas dan jelas, sebagaimana penjelasan beliau mengenai shalat dan zakat. Jika
memang beliau memaksudkan kepemimpinan Ali, niscaya beliau bersabda: Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya Ali adalah pemimpin kalian
dan pemimpin seluruh manusia setelahku.”[67]
Dari sikap dan pernyataan Ahlu Bait di
atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa keyakinan Syiah
terhadap
hadits tersebut sebagai wasiat kepemimpinan Ali jelas keliru. Sebab, Ahlu Bait sendiri tidak mengakuinya. Bahkan,
mereka (Ahlu Bait) khususnya Ali menampakkan sikap baiknya kepada para khalifah
sebelumnya dan tidak pernah mengatakan bahwa mereka telah merampas hak
kepemimpinan darinya sebagaimana yang diyakini oleh Syiah.
Konsep yang
telah ditetapkan Islam untuk menentukan khalifah yaitu melalui konsep Syūra
(musyawarah). Satu konsep yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan seluruh
kaum muslimin, akan tetapi hanya melibatkan para Ahlu Halli wa al-Aqdi.
Mereka
lah yang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang paling
layak untuk menjadi khalifah. Pengangkatan khalifah ditandai dengan baiat para Ahlu
Halli wa al-Aqd kepada khalifah yang ditunjuk, kemudian diikuti oleh
seluruh kaum muslimin yang lain.[68] Konsep ini telah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah. Contohnya,
pada pengangkatan khalifah Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’idah pasca wafatnya
Rasulullah. Konsep ini diakui dan disetujui oleh kaum muslimin termasuk Ali dan
Ahlu Bait.[69]
Tidak sebagaimana yang diyakini oleh Syiah. Persetujuan
Ali terhadap konsep ini terlihat jelas dari ungkapannya: “Sesungguhnya syūra merupakan hak
para sahabat Muhajirin dan Anshar.
Jika mereka telah bersepakat memilih salah seorang sebagai
Imam (khalifah), maka kesepakatan
mereka diridhai
oleh Allah.”[70]
Maksud ungkapan Ali di atas, yaitu Allah meridhai apa
yang disepakati oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Artinya, Ali mengakui kepemimpinan tiga khalifah sebelum beliau. Sebab, ketiga khalifah tersebut telah diangkat oleh sahabat Muhajirin dan Anshar dengan suara bulat.
Persetujuan Ali terhadap kepemimpinan para khalifah sebelumnya juga dibuktikan
dengan pembaiatan beliau terhadap ketiganya dengan suka rela tanpa paksaan
sedikit pun.
G.
Penutup
Dari keterangan
yang ada, menunjukkan bahwa argumentasi Syiah tentang penobatan Ali sebagai
pemimpin sepeninggal Rasulullah yang dilandaskan kepada hadits Ghadir Khum
adalah argumentasi yang lemah. Kelemahan argumentasi tersebut terbukti dari sisi
periwayatan, sabab wurud, konteks pembicaraan nash, segi kebahasaan dan pernyataan
serta sikap Ahlu Bait terhadap para khalifah sebelum Ali. Selain itu,
argumentasi mereka juga bertentangan dengan logika. Sebab, jika memang hadits
tersebut merupakan dalil penobatan Ali sebagai pemimpin sepeninggal Rasulullah,
niscaya para sahabat akan mengangkatnya karena itu merupakan perintah
Rasulullah. Namun, kenyataan yang ada justru mereka bersepakat mengangkat Abu
Bakar sebagai pemimpin sepeninggal Rasulullah di Saqifah Bani Sa’idah. Yang mana
pada saat itu tidak ada satu pun di antara mereka yang menyinggung hadits
Ghadir Khum
tersebut. Artinya, hadits Ghadir Khum tidaklah berbicara masalah
kepemimpinan Ali sedikit pun, akan tetapi berbicara masalah kewajiban untuk
saling mencintai dan tolong menolong sesama mukmin. Maka, dapat
dikatakan bahwa
klaim Syiah terhadap hadits tersebut hanya asumsi
semata yang tidak berlandaskan kepada dalil dan bukti.
Hal
demikian dapat dimaklumi karena dalam Islam konsep imamah (kepemimpinan)
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Syiah memang tidak pernah ada, baik dari nash
al-Qur’an maupun hadits. Yang ada adalah konsep syūra (musyawarah)
yang diampu oleh Ahlu Halli wal ‘Aqdi dari para
ulama dan pemuka umat yang memiliki kapabilitas dalam hal tersebut. Karenanya, Ahlussunnah
selalu mengembalikan urusan kekhilafahan pada konsep syūra tersebut. Sebab,
kekhilafahan merupakan salah satu permasalahan penting dalam Islam yang semestinya
diselesaikan dengan cara bermusyawarah sesuai anjuran Allah dalam al-Qur’an. Wallahu ‘Alam Bi Showab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Karim
Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. al-Wasīṭ
fī 'Ulūm wa Musṭalah
al-Ḥadīts. (Dar al-Fikr al-'Arabi).
Ad-Damsyiqiyah, Abdurrahman bin Muhammad
Said. Istidlāl as-Syīah bi as-Sunnah
an-Nabawiyah Fī Mīzan an-Naqdi al-Ilmi. (Kairo: Dār
as-Sofwah, 2008).
Al-Akwayi, Abdul Karim. Juhūd Ulamā' al-Muslimīn fī Tamyīz Ṣaḥīh as-Sirah
an-Nabawiyah min Dha'īfihā. (Maktabah Syamilah).
Al-Albani, Nahiruddin. Silsilah al-Aḥādits as-Ṣaḥīhah wa Syai'un min
Fiqhihā wa Fawāiduhā, (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1995 M).
Al-Alusi, Abu Fadhl Syihabuddin. Rūh al-Ma’āni fī Tafsīr
al-Qur’an al-‘Aẓīm. (Beirut: Dār al-Fikr tt).
Al-Amini, Abdul Husein Ahmad. Al-Ghadīr
fī al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-Adāb. (Teheran:
Al-Haidary,1372 H).
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdhib at-Tahdhīb, (India: Mathba'ah Dāirat al-Ma'ārif an-Nazhamiyah, 1326 H).
Al-Azhari, Muhammad bin Ahmad.
Tahdhīb al-Lughah. Tahqiq:
Muhammad 'Iwadh Mura'ib. (Beirut: Dār Ihya at-Turats al-'Arabi, 2001 M).
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Ṣahīh al-Bukhāri. Tahqiq: Muhammad Zhahir. (Dār Thūq an-Najāh, 1422 H).
Al-Dahlawi, Syah Abdul Aziz Ghulam. Mukhtaṣar
at-Tuḥfah al-Itsna ‘Asyariyah. Tahqiq: Muhibbuddin al-Khatib. (Kairo:
Mathba’ah as-Salafiyah, 1373 H).
Al-Damsyiqi, Ismail bin Umar bin Katsir.
Al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki. (Jaizah: Hajr Li at-Than'ah wa
an-Nasyr wa at-Tauzī' wa al-I'lān 1998 M).
Al-Damsyiqi, Ismail bin Umar bin Katsir. Ḥijjatu al-wadā' Dirāsatun
Jāmi'atun Li Aḥādīts wa al-Atsār al-Wāridah fī Ḥijjati an-Nabi wa al-Jam'u Bainahā
'’Alā Tharīqoti Ahli al-Ḥadīts wa al-Fuqahā. Tahqiq: Khalid Abu Shalih,
(1996 M).
Al-Damsyiqi, Ismail bin Umar bin Katsir.
Ikhtiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīts. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir.
(Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyah, tt).
Al-Hadzli, Abu al-Hasan Ali Bin Husein. Itsbātu
al-Waṣiyah Li al-Imām Ali bin Abi Thalib, (Beirut: Dār
al-Adhwa',1988 M).
Al-Hamawi, Syihabuddin Yaqut bin Abdullah . Mu'jam al-Buldān. (Beirut: Dār as-Shādir, 1995 M).
Al-Jazari, Ibnu Atsir. An-Nihāyah fī Gharīb al-Ḥadīts
wa al-Atsār. Tahqiq: Thahir Ahmad az-Zawi dan Mahmud
Muhammad at-Thanahi, (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, 1399 H).
Al-Khamis, Utsman bin Muhammad. Ḥiqbatun
Min at-Tārīkh Ma Baina Wafāti an-Nabi Ilā
Maqtal al-Ḥusein Sanah 61 Hijriyah. (Mesir: Dār
al-Kutub al-Mishriyah 1427 H).
Al-Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Uṣūl al-Kāfi. Tashih dan ta'liq: Muhammad ja'far Syamsuddin,
(Beirut: Dār at-Ta'āruf Li al-Mathbu'āt, 1990 M).
Al-Majlisi,
Muhammad Baqir. Biḥār al-Anwār al-Jāmi’ah Lidurur Akhbār al-Aimmah al-Aṭhar,
(Beirut: Muassasah al-Wafa’, 1983 M).
Al-Mubarakfuri, Muhammad bin
Abdurrahman. Tuhfatu al-Aḥwādzi Bi Syarḥi Jāmi’i at-Tirmidhi. (Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmiyah, tt).
Al-Muqraizi,
Muhammad. Al-Mawā'iẓ wa al-I'tibār Bidhikri al-Khuṭāṭ wa al-Atsār.
(Kairo: Mathba'ah al-Adab 1968 M).
Al-Naisaburi, Muslim bin Hajaj. Ṣaḥīh
Muslim. Tahqiq: Muhammad Fuad Abdu
al-Baqi. (Beirut: Dār
Ihya’ at-Turāts al-‘Arabi tt).
Al-Nasa’i. Sunan al-Kubra.
Tahqiq: Hasan Abdul Mun'im Syilbi. (Beirut: Muassasah ar-Risālah,
1421 H).
Al-Qari, Ali bin Muhammad. Mirqāt al-Mafātiḥ
Syarḥ Misykāt al-Maṣābīḥ. (Beirut:
Dār
al-Fikr, 1422 H). Al-Maqdisi, Abu Hamid Muhammad. Risālah fī ar--Radd 'Ala Rafīḍah.
Tahqiq: Saad abdul Ghafar Ali. (Mesir: Dar Adhwa'u as-Salaf 2008 M).
Al-Qazwaini, Amir Ali al-Musawi. Ghadīr Khum wa al-Ḥadats Yalihi as-Syīah f al-Lughah wa
al-Kitāb wa as-Sunnah. (alfeker. Net, 2006 M).
Al-Qifari, Nashir bin Abdullah. Uṣūl Madhhab as-Syī’ah al-Imāmiyah
al-Itsnā ‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-Islmāiyah, 1994 M).
Al-Ruhaili, Ibrahim bin 'Amir.
al-Intiṣār li as-Ṣahābi
wa al-‘Ali min Iftirāat as- Samawi
ad-Ḍāli. (Maktabah al-Ghuroba, tt).
Al-Sahristani,Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim. Al-Milal wa an-Niḥal. (Beirut: Dār al-Fikr, tt).
Al-Sajistani, Abu Dawud, Sulaiman bin
al-Asha’ath. Al-Sunan. Tahqiq: Muhammad Muhyiddin. (Beirut: al-Maktabah
al-'Ashriyah, tt)
Al-Salus, Ali Ahmad . Aqīdatu al-Imāmah 'Inda Syīah al-Itsna 'Asyariyah. (Kairo: Dār al-I’tishām, 1987 M).
Al-Shuyuti, Abdurrahman bin Abi Bakar . Tārīkh al-Khulafā'. Tahqiq: Muhammad Muhyiddin
Abdul hamid.
(Mesir: Mathba'ah as-Sa'ādah, 1952 M).
Al-Suhaimi, Ahmad Haris.
Tautsīq al-Sunnah Baina as-Syīah al-Imāmiyah wa Ahlus
Sunnah fī Aḥkām al-Imāmah wa Nikāḥ al-Mut’ah. (Kairo: Dār as-Salām,
2003 M).
Al-Syaibani, Ahmad bin Hanbal. Musnad.
Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth dkk. (Muassasah
ar-Risālah, 1421 H).
Al-Syairazi, Muhammad al-Huseini. ‘Idul al-Ghadīr 'Aẓamu
al-A'yād fī al-Islām. (Beirut: Muassasah al-Mujtaba li
at-Tahqīq wa an-Nasyr 2003 M).
Al-Tamimi, Abdullah bin Muhammad. Mukhtaṣar Sīrah Rasūl. (Damasqus: Dār al-Faihā', 1997 M).
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir.
Jāmi'
al-Bayān fī Ta'wīl al-Qur'an. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. (Muassasah
ar-Risalah, 2000 M).
Al-Thabrani. Al-Mu'jam al-Kabir.Tahqiq:
Hamdi bin Abdul Majid. (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1415 H).
Al-Thaqani, Ismail bin Abad. Al-Muhīṭ fī al-Lughah. Tahqiq:
Muhammad Hasan alu Yasin (Beirut: Dār an-Nasyr, 1994).
Al-Zabidi, Muhammad bin Muhammad. Tājul al-'Arūs min
Jawāhir al-Qāmūs.
(Dār al-Hidāyah tt).
As-Syaukani, Muhammad bin Ali. As-Sailu al-Jarrār
al-Mutadaffiq 'Alā Ḥadāiq al-Azhar. Tahqiq: Muhammad Ibrahim Zayid. (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1983 M).
At-Thabari, al- Muhib. Ar-Riyādh an-Nadhrah fī Manāqib al 'Usyrah. (Maktabah Syamilah).
Fadhlullah, Muhammad Husein.
Naẓratun Islāmiyyatun Ḥaula
al-Ghadīr. (Beirut: al-Markaz al-Islāmy ats-Tsaqafī Masjid al-Imamain al-Huseini, 2003 M).
http://www.kiblat.net.
Ibnu Abi Syaibah . Al-Kitāb al-Muṣanif fī
al-Aḥādīts wa al-Atsār,. Tahqiq: Kamal Yusuf al-Hut, (Riyadh:
Maktabah ar-Rusyd, 1409 H).
Ibnu Abil Hadid, Syarḥ Nahji Balāghah, (Dār ar-Rasyād al-Hadītsah,
tt).
Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid. Al-Sunan.
Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth dkk. (Dār
ar-Risālah
al-'Alamiyah, 1430 H).
Ibnu
Shalah, Utsman bin Abdrrahman. Ma'rifat Anwa' 'Ulum al-Ḥadīts. Tahqiq: Nuruddin Athar. (Beirut: Dar
al-Fikr al-Mu'ashir, 1406 H).
Nawar, Shalahudin Muhammad. Naẓariyatu al-Khilāfah aw al-Imāmah
wa Taṭawwuruhā as-Siyāsi wa ad-Dīni. (Mesir:
Mansyaatu al-Ma'ārif,1996
M).
Syauqi Abu Khalil.
Aṭlas al-Ḥadīts
an-Nabawi min al-Kutub as-Ṣihah as-Sittah Amākinun Aqwāmun. (Damasqus: Dar
al-Fikr, 2005 M).
Syibr, Abdullah. Ḥaqqu al-Yaqīn fī
Ma’rifati Uṣūl ad-Dīn, (Beirut: Dār
al-Adhwa’, 1983).
Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. Al-Sunan.
Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dkk.
(Mesir: Musthofa al Bâbi al-Hilyi, 1395 H),.
Yayasan Al-Mustafa Al-Alami Foundation. Khutbah
Ghadir Khum Wasiat Rasulullah SAW. (Jakarta: Al-Mustafa Al-Alami
Foundation, 2013 M).
Yusuf bin Muhammad.
Aḥādīts Muntakhabah min Maghāzi Mūsa bin ‘Uqbah. Tahqiq: Masyhur Hasan
Salman. (Muassasah ar-Rayyān: Dār Ibn Hazm, 1991 M).
Zhahir, Ihsan Ilahi Zhahir. As-Syīah wa at-Tasayyu' Firaqun wa Tārīkhun. (Pakistan: Idārah Turjamān al-Qur'an, 1415 H).
[1] Peserta PKU VII (Program
Kaderisasi Ulama) Institud Studi Islam Darussalam Gontor.
[2] Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah para sahabat dan
setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in, kemudian ashhaabul
hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai
pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur
maupun di barat.
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas
kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama. Mereka berkumpul di
bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak
mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan
Salaful Ummah (generasi awal umat). Mereka disebut juga Ahlul Hadits, Ahlul
Atsar dan Ahlul Ittiba’ karena mereka adalah orang-orang yang mengikuti sunnah
Rasulullah dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah),. Di samping itu, mereka
juga dikatakan sebagai Thâ-ifah al-Manṣūrah (golongan
yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang
selamat). Lihat: Ahmad Haris al-Suhaimi, Tautsīq as-Sunnah baina
as-Syīah al-Imāmiyah wa Ahlus Sunnah fī
Ahkām al-Imāmah wa Nikāh al-Mut’ah, (Kairo: Dār as-Salām, 2003 M), hal.
115-121.
[3]
Istilah Syi'ah berasal dari bahasa Arab (شيعة) "Syī`ah". Lafadz ini merupakan bentuk tunggal,
sedangkan bentuk pluralnya adapluralnya
adalah "Syiya'an". Pengikut Syi'ah disebut "Syī`ī" (شيعي).
Kata "Syi'ah" menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan
pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas suatu
perkara. Muhammad bin Ahmad al-Azhari (w. 370 H), Tahdhīb al-Lughah,Tahqiq
Muhammad 'Iwadh Mura'ib, (Beirut: Dār Ihya at-Turats al-'Arabi, 2001 M), jilid.
3, hal. 41. Muhammad bin Muhammad al-Zabidi (w. 1205 H), Tājul al-'Arūs min
Jawāhir al-Qāmūs, (Dar al-Hidayah, tt), jilid. 21, hal. 301-302.Adapun
menurut terminologi Islam, kata ini bermakna: para pendukung Ali secara khusus.
Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah yang paling utama di
antara para sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas
kaum Muslim, demikian pula anak cucunya. Dalam
pandangan mereka,
para imam ini telah ditetapkan melalui nash dan wasiat dari Allah dan
Rasul-Nya. Baik secara tersurat maupun tersirat. Selain itu, mereka meyakini
bahwa perkara kepemimpinan tersebut adalah perkaran ushul (pokok) agama bukan
furu’ (cabang). Syiah terdiri dari berbagai sekte. Induk dari sekte-sekte Syiah
yaitu, Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat dan Ismailiyah. Adapun Syiah yang
dimaksudkan dalam makalah ini lebih spesifik kepada Syiah Imamiyah atau Itsna
‘Asyariyah. Lihat: Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim al-Sahristani (W. 548
H), al-Milal wa an-Niḥal, (Beirut: Dār al-Fikr, tt),
jilid. 1, hal. 146.
[4]
Lihat:, Muhammad bin Ali al-Syaukani, as-Sailu al-Jarrār al-Mutadaffiq 'Alā Ḥadāiq
al-Azhar, Tahqiq Muhammad Ibrahim Zayid , (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,
1983 M), jilid 4, hal. 511.
[5] Lihat: Muhammad Abdul Karim Ibnu
Abi Bakr al-Syahristani,
al-Milal wa an-Niḥal, hal. 146. Abu al-Hasan Ali
Bin Husein al-Mas'udi al-Hadzli, Itsbātu al-Waṣiyah li al-Imām Ali bin Abi Thalib, (Beirut: Dār al-Adhwa', 1988 M), hal. 153-155.
[6] Ghadir Khum adalah suatu lembah
yang berada di antara Mekah dan Madinah dekat Juhfah.. Syihabuddin
Yaqut bin Abdullah al-Hamawi (w. 626 H), Mu'jam al-Buldān, (Beirut: Dār
as-Shādir, 1995 M), jilid. 2, hal. 389. Disebut hadits Ghadir Khum karena di
tempat tersebut Rasulullah bersabda: ”Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya
(penolongnya), maka Ali juga sebagai maula-nya.” Tepatnya pada 18
Dzulhijah tahun 10 H, ketika beliau dalam perjalanan pulang menuju Madinah
setelah melaksanakan haji wada’. Untuk detil teks haditsnya bisa dilihat pada
halaman ketiga dari makalah ini.
[7] Lihat:
Abdurrahman bin Muhammad Said Damsyaqiyah, Istidlāl as-Syīah bi as-Sunnah an-Nabawiyah Fī Mīzan an-Naqdi al-Ilmi, (Kairo: Dār as-Sofwah 2008), hal. 565. Abdul Husein Ahmad al-Amini, Al-Ghadīr fī al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-Adāb, (Teheran: Al-Haidari, 1372 H), jilid. 1, hal. 11.
[8] Muhammad al-Huseini al-Syairazi, ‘Idul al-Ghadīr 'Azhamu
al-A'yād fī al-Islām, (Beirut: Muassasah al-Mujtaba li at-Tahqq wa an-Nasyr,
2003 M), hal. 65.
[9] Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa an-Niḥāyah, tahqiq
Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, (Jaizah: Hajr Li at-Than'ah wa an-Nasyr wa
at-Tauzī' wa al-I'lān, 1998 M),
jilid. 15, hal. 261. Muhammad al-Muqraizi, al-Mawā'iẓ wa al-I'tibār
Bidzikri al-Khuṭāṭ wa al-Atsār, (Kairo: Mathba'ah al-Adab, 1968 M), jilid.
1, hal. 388.
[10] Acara tersebut bertajuk ‘Seminar Internasional Idul Ghadir’ bertajuk
“Imam Ali alaihi salam, Putera Ka’bah Pemersatu Ummah”. Tokoh-tokoh yang hadir dari luar dan dalam negeri
diantaranya; Ketua IJABI Jalaludin Rahmat, budayawan Betawi Ridwan Saidi, PP
Aisyiyah Masyitoh Chusnan, Tokoh NU Syaifudin Amsir, Dubes Iran Mahmoud
Farazandeh, Dubes Paraguay, dan tokoh Iran Ahmad Mahdi Mazahiri. Lihat: Asrori S. Karni, Pesan
Persatuan Lebaran Ghadir Kaum Syiah, Sabtu, 10 November 2012. 06:00. http://www.gatra.com. Sdqfajar, Dibungkus Acara
Seminar, IJABI Rayakan Idul Ghadir, 26/10/2013/, 01.00. http://www.kiblat.net.
[11] Syiah
memiliki empat kitab hadits yang menjadi rujukan utama dan pedoman. Pertama, al-Kāfi
karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (w. 329 H). Kedua, Man Lā
Yahḍuru
al-Faqīh karya Ibnu Babawaih al-Qummi (w. 381 H). Ketiga dan
keempat Tahdhīb al-Ahkām dan al-Istibṣār karya
Muhammad bin Hasan al-Thusi (w. 460 H). Selain keempat kitab tersebut Syiah
juga memiliki kitab-kitab hadits lain yang menjadi rujukan. Yaitu; al-Wāfi karangan
Muhsin al-Kasi, ,Watsātsil as-Syīah ilā Aḥādīts as-Syarīfah karangan
Muhammad bin Hasan al-Amili (w. 1104 H), Bihārul Anwār fī aḥādīts Nabiy wa
al-Aimmah al-Aṭhār karangan Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1110 H), al-‘Awālim
fī al-Ḥadīts karangan Abdullah al-Bahrani, as-Syifā fī Ḥadīts ‘Ali Musṭafa karangan Muhammad Ridha al-Tabraizi (w. 1158
H), Jāmi’ al-Ahkām fī al-Ḥadīts karangan Abdullah Syibri (w. 1242 H) dan
Mustadrakāt al-Wasāil karangan
Husein al-Nuri (w. 1320 H). Lihat: Ihsan Ilahi Zhahir (w. 1407 H), as-Syīah
wa at-Tasayyu' Firaqun wa Tārīkhun, (Pakistan: Idarah Turjaman al-Qur'an,
1415 H), hal. 325-328.
[12]
Lihat: Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini, Uṣūl al-Kāfi, tashih dan ta'liq.
Muhammad Ja'far Syamsuddin, (Beirut: Dār at-Ta'āruf Li al-Mathbu'āt, 1990 M),
jilid. 1, hal. 351.
[13] Lihat: Abdul Husein Ahmad al-Amini, Al-Ghadīr fī al-Kitāb wa
as-Sunnah wa al-Adāb, (Najaf: Mathba’ah al-Ghurra’, 1372 H), jilid. 1, hal.
11.
[14]
Lihat: Muhammad al-Huseini al-Syairazi ‘Idul al-Ghadīr 'Azhamu al-A'yād fī
al-Islām, hal. 85-90.
[15] Amir Ali al-Musawi al-Qazwaini, Ghadīr Khum wa al-Ḥadats Yalihi as-Syīah f al-Lughah wa al-Kitāb wa as-Sunnah (alfeker. Net, 2006 M), hal. 23-25.
[16] Lihat: Abu Fadhl Syihabuddin
al-Alusy, Rūh al-Ma’āni fī Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm, (Beirut: Dār al-Fikr, tt), jilid. 6, hal. 61.
[17] قال لي : الحسن بن محمد السكوني
عن إبراهيم بن محمد بن يحيى عن أبي جعفر السري وأبي نصر بن موسى الخلال معا عن علي
بن صعيد عن ضمرة بن شوذب عن مطر عن شهر بن حوشب عن أبي هريرة قال من صام يوم ثمانية
عشر من ذي الحجة كتب الله له صيام ستين شهرا وهو يوم غدير خم لما أخذ رسول الله بيد
علي بن أبي طالب وقال ألست أولى بالمؤمنين ؟ قالوا بلى يارسول الله قال من كنت مولاه
فعلي مولاه فقال له عمر بخ بخ لك يا ابن أبي طالب أصبحت مولاي ومولى كل مسلم فأنزل
الله عز وجل اليوم أكملت لكم دينكم ...
Muhammad al-Majlisi, Bihār al-Anwār al-Jāmi’ah
Lidurur Akhbār al-Aimmah al-Aṭhar, (Beirut: Muassasah al-Wafa’, 1983 M), jilid. 37, hal. 108. Lihat
juga; Abdullah
Syibr, Haqqu al-Yaqīn fī Ma’rifati Uṣūl ad-Dīn, (Beirut: Dār al-Adhwa’ 1983), jilid. 1, hal. 274. Yayasan Al-Mustafa Al-Alami Foundation, Khutbah
Ghadir Khum Wasiat Rasulullah SAW, (Jakarta: Al-Mustafa Al-Alami Foundation, 2013 M), hal. 50.
[18] Hadits munkar adalah hadits yang
hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang tidak diketahui ada kesamaan matannya
dengan para perawi yang lain. Hadits ini ditolak dan dianggap syadz (nyeleneh)
menurut kebanyakan para ahlu hadits. Hadits munkar terbagi dua. Pertama, hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang menyelisihi riwayat para perawi Tsiqah (terpercaya).
Kedua, hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi dan dalam sanadnya
tidak terdapat para perawi yang Tsiqah dan Mutqin (baik hafalanya) yang
menguatkan status haditsnya. Lihat: Utsman bin Abdrrahman Ibnu Shalah, Ma'rifat
Anwa' 'Ulum al-Ḥadits (Muqaddimah Ibnu Shalah), Tahqiq Nuruddin Athar,
(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir,
1406 H), hal.
40-41.
[19] عَنْ طَارِقِ
بْنِ شِهَابٍ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ مِنَ اليَهُودِ لِعُمَرَ: يَا أَمِيرَ
المُؤْمِنِينَ، لَوْ أَنَّ عَلَيْنَا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {اليَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإِسْلاَمَ دِينًا} [المائدة: 3]، لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ اليَوْمَ عِيدًا، فَقَالَ
عُمَرُ: «إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيَّ يَوْمٍ نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ، نَزَلَتْ
يَوْمَ عَرَفَةَ، فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ
HR. Bukhari, Muhammad
bin Ismail, Ṣahih Bukhari, tahqiq. Muhammad Zhahir, (Dār Thūq an-Najāh,
1422 H), no. 7268, kitab. Al-I’tishām bi al-Kitāb wa as-Sunnah, jilid. 9,
hal.91.
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ، قَالَ:
جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْيَهُودِ إِلَى عُمَرَ، فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ
آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا، لَوْ عَلَيْنَا نَزَلَتْ، مَعْشَرَ
الْيَهُودِ، لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا، قَالَ: وَأَيُّ آيَةٍ؟ قَالَ:
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ، وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي،
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3]، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي
لَأَعْلَمُ الْيَوْمَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ، وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ
فِيهِ، «نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ
فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ»
HR. Muslim, Muslim bin Hajjaj, Ṣahih
Muslim, tahqiq. Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, (Beirut: Dār Ihya’ at-Turāts al-‘Arabi, tt), no. 3017, kitab. At-Tafsīr, jilid. 4,
hal. 2313.
“Barang
siapa yang shaum di bulan Ramadhan kemudian menambahnya dengan shaum enam hari di bulan Syawal,
maka shaumnya dinilai seperti shaum satu tahun penuh”
HR. Muslim, Muslim bin
Hajjaj, Ṣahih Muslim, tahqiq. Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, (Beirut: Dār Ihya’ at-Turāts al-‘Arabi, tt), no
1984, kitab. Shiyam., bab. Istihbâb Shaum Sittati Ayyâm Min
Syawwâl Ittibâ’an, jilid. 6, hal.
664.
[21] Lihat: Ibnu Katsir, al-Bidāyah
wa an-Nihāyah, tahqiq. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, jilid. 7, hal.
680-681.
[22] قال صاحب كتاب النشر والطي في تمام
حديثه ما هذا لفظه: ....قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: أقر على نفسي بالعبودية وأشهد له بالربوبية وأؤدي ما أوحي
إلي حذار إن لم أفعل أن تحل بي قارعة , أوحي إلي (يا
أيها الرسول بلغ
ما
أنزل إليك من ربك) الآية , معاشر الناس ما قصرت في تبليغ ما انزله الله تبارك
وتعالى , وأنا أبين لكم سبب هذه الآية : إن جبريل هبط إلي مرارا أمرني عن السلام
أن أقول في المشهد وأعلم الابيض والأسود أن علي بن أبي طالب أخي وخليفتي والإمام
بعدي ......ولا تحل إمرة المؤمنين لأحد بعدي غيره.
Muhammad al-Majlisi, Bihār al-Anwār al-Jāmi’ah
Lidurur Akhbār al-Aimmah al-Aṭhar, jilid 37, hal.
131-132.
[23] حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ، عَنْ
يَزِيدَ الرِّشْكِ، عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ
حُصَيْنٍ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
جَيْشًا وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، فَمَضَى فِي
السَّرِيَّةِ فَأَصَابَ جَارِيَةً فَأَنْكَرُوا عَلَيْهِ، وَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ
مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا:
إِذَا لَقِينَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْنَاهُ
بِمَا صَنَعَ عَلِيٌّ، وَكَانَ المُسْلِمُونَ إِذَا رَجَعُوا مِنَ السَّفَرِ
بَدَءُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمُوا
عَلَيْهِ، ثُمَّ انْصَرَفُوا إِلَى رِحَالِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَتِ السَّرِيَّةُ
سَلَّمُوا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ أَحَدُ
الأَرْبَعَةِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي
طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا، فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ الثَّانِي فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ،
فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ الثَّالِثُ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ،
فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالُوا،
فَأَقْبَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالغَضَبُ
يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ، فَقَالَ: «مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ
مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي وَأَنَا
مِنْهُ، وَهُوَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْدِي».
Muhammad bin
Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfahtu al-Ahwādzi Bi Syarhi Jāmi’i at-Tirmidzi, (Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmiyah, tt), No.
3712, Bab.
Manāqib
Ali bin Abi Thalib, Jilid. 10, hal. 146.
[24]حَدَّثَنَا
ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنِي أَجْلَحُ الْكِنْدِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ بُرَيْدَةَ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثَيْنِ إِلَى الْيَمَنِ: عَلَى أَحَدِهِمَا عَلِيُّ بْنُ
أَبِي طَالِبٍ، وَعَلَى الْآخَرِ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَقَالَ: «إِذَا
الْتَقَيْتُمْ فَعَلِيٌّ عَلَى النَّاسِ، وَإِنْ افْتَرَقْتُمَا فَكُلُّ وَاحِدٍ
مِنْكُمَا عَلَى جُنْدِهِ» . قَالَ: فَلَقِينَا بَنِي زَيْدٍ مِنْ أَهْلِ
الْيَمَنِ فَاقْتَتَلْنَا فَظَهَرَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ،
فَقَتَلْنَا الْمُقَاتِلَةَ، وَسَبَيْنَا الذُّرِّيَّةَ فَاصْطَفَى عَلِيٌّ
امْرَأَةً مِنَ السَّبْيِ لِنَفْسِهِ. قَالَ بُرَيْدَةُ: فَكَتَبَ مَعِي خَالِدُ
بْنُ الْوَلِيدِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُخْبِرُهُ بِذَلِكَ، فَلَمَّا أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَفَعْتُ الْكِتَابَ، فَقُرِئَ عَلَيْهِ، فَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي
وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، هَذَا مَكَانُ الْعَائِذِ بَعَثْتَنِي مَعَ رَجُلٍ وَأَمَرْتَنِي أَنْ
أُطِيعَهُ فَفَعَلْتُ مَا أُرْسِلْتُ بِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «لَا تَقَعْ فِي عَلِيٍّ؛ فَإِنَّهُ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ، وَهُوَ
وَلِيُّكُمْ بَعْدِي، وَإِنَّهُ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ، وَهُوَ وَلِيُّكُمْ
بَعْدِي»
HR. Ahmad,
Musnad Aḥmad,
Tahqiq. Syu'aib
al-Arnauth dkk, (Muassasah
ar-Risālah, 1421 H), no. 23012, bab Hadits Buraidah al- Aslami, jilid. 38, hal. 117.
[25] Lihat: Muhammad bin Abdurrahman
al-Mubarakfuri, Tuḥfahtu al-Aḥwādhi Bi Syarḥi Jāmi’i
at-Tirmidzi, no.
3712, bab.
Manāqib
Ali bin Abi Thalib, jilid. 10, hal. 145-147; Nahiruddin Al-Albani, Silsilah
al-Aḥādits ash-Ṣahīhah wa Syai'un min Fiqhihā wa Fawāiduhā, (Riyadh:
Maktabah al-Ma'arif, 1995 M), jilid. 4,
hal. 330-338. Ibnu hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzīb, (India:
Mathba'ah Dāirat
al-Ma'ārif
an-Nazhamiyah, 1326 H), jilid.
1, hal. 188, jilid.2I, hal. 97-98.
[26]
Lihat: Nahiruddin Al-Albani, Silsilah al-Aḥādits ash-Ṣahīhah wa Syai'un min
Fiqhihā wa Fawāiduhā, jilid. 4, hal. 330-338.
[27] Sebagai contoh hadits Rasulullah, "Apakah orang ini tidak
mendapatkan sesuatu yang dengannya ia bisa merapikan rambutnya?" pada
sebagian riwayat “apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu yang dengannya ia
bisa mencuci pakaiannya?. Sabab wurud hadits
tersebut sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdullah ia
berkata: “ketika Rasulullah mengunjungi kami, beliau melihat salah seorang sahabat yang
rambutnya kusut lalu beliau bersabda sebagaimana lafazh hadits di atas. HR.Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
tahqiq Muhammad Muhyiddin, (Beirut: al-Maktabah al-'Ashriyah), no.
4062, bab.
Fi Ghasl i as-Tsaub wa Ḥilqān, jilid.
4, hal. 51. Hadits ini dan sabab wurudnya menunjukkan dengan jelas akan
kecintaan Islam kepada kebersihan. Baik kebersihan jiwa, raga dan pakaian karena Islam adalah agama yang
benar-benar bersih. Lihat: Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah (W,1403 H), al-Wasīth fī 'Ulūm wa
Musthalah al-Hadīts,
(Dar al-Fikr al-'Arabi, tt), hal. 472-475.
[28] يأيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا
أُنزلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ QS. Al Maidah 5:67.
[29] Lihat; Muhammad
bin Ya'qub al-Kulaini, Uṣūl al-Kāfi, tashih dan ta'liq. Muhammad Ja'far
Syamsuddin, (Beirut: Dār at-Ta'āruf Li al-Mathbu'āt, 1990 M), jilid. 1, hal.
351. Muhammad al-Majlisi, Bihār al-Anwār al-Jāmi’ah Lidurur Akhbār al-Aimmah
al-Aṭhar, jilid. 37,
hal. 131-138. Abu
Ja’far Muhammad bin Hasan al-Thusi, at-Tibyān fī
Tafsīr
al-Qur’an, (Najf, 367 H), jilid. 2, hal. 587-588.
Abdul Husein Ahmad al-Amini, Al-Ghadīr fī al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-Adāb, jilid. 1, hal. 11. Muhammad
al-Huseini as-Syairazi, Idul Ghadīr 'Azhamu al-a'yād fī al-Islām, hal. 92-95. Muhammad at-Tijani,
Tsumma Ihtadaitu, (London: Muassasah al-Fajr, 1993 M), hal. 165-178. Amir Ali
al-Musawi al-Qazwaini, Ghadīr Khum wa al-Hadats Yalīhi as-Syiah fī al-Lughah wa al-Kitāb wa as-Sunnah, hal. 23-25.
[30] الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ QS. Al-Maidah 5:3.
[31] Lihat: Abu Ja’far Muhammad bin
Hasan ath-thusi, at-Tibyān
fī Tafsīr al-Qur’an, jilid. 2, hal. 587-588. Abdul
Husein Ahmad al-Amini, Al-Ghadīr fī al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-Adāb, jilid. 1, hal. 11. Muhammad
al-Huseini as-Syairazi, Idul Ghadīr 'Azhamu al-a'yād fī al-Islām, hal. 92-95. Muhammad at-Tijani,
Tsumma Ihtadaitu, hal.
165-178. Amir Ali al-Musawi al-Qazwaini, Ghadīr Khum wa al-Hadats Yalīhi as-Syiah fī al-Lughah wa al-Kitāb wa as-Sunnah, hal. 23-25. Muhammad al-Majlisi, Bihār al-Anwār al-Jāmi’ah
Lidurur Akhbār al-Aimmah al-Aṭhar, jilid. 37, hal. 131-138.
[32]Lihat: Syauqi Abu Khalil, Aṭlas al-Ḥadīts an-Nabawi min al-Kutub as-Ṣihah as-Sittah Amākinun Aqwāmun, (Damasqus: Dar al-Fikr, 2005 M), jilid. 4, hal. 285.
[33] Utsman bin Muhammad al-Khamis, Ḥiqbatun
Min at-Tārīkh Mā Baina Wafāti an-Nabi Ilā Maqtal al-Husein Sanah 61 Hijriyah, (Mesir: Dār al-Kutub al-Mishriyah, 1427 H), hal. 345-346.
[34] Ibid, hal. 345-346.
[35] Lihat: Ibnu Katsir, Ikhtiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīts, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir,
(Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyah,
tt), hal. 185.
[36]
Utsman bin Muhammad al-Khamis, Ḥiqbatun Min at-Tārīkh Mā Baina Wafāti an-Nabi Ilā Maqtal al-Husein
Sanah 61 Hijriyah, hal. 345-346.
[37]Lihat:
Ibnu Katsir, Ḥijjatu al-wadā' Dirāsatun Jāmi'atun Li Aḥādīts wa al-Atsār
al-Wāridah fī Ḥijjati an-Nabi wa al-Jam'u Bainahā '’Alā Ṭarīqoti Ahli al-Ḥadīts
wa al-Fuqohā, tahqiq. Khalid Abu Shalih, (1996 M), hal 309-313.
[38]Lihat; Ali Ahmad as-Salus, Aqīdatu al-Imāmah 'Inda Syīah al-Itsna 'Asyariyah, (Kairo: Dār al-I’tishām 1987), hal. 116. Ibnu Katsir, Ḥijjatu al-Wadā' Dirāsatun Jāmi'atun Li Aḥādīts wa al-Atsār al-Wāridah fī
Ḥijjati an-Nabi wa al-Jam'u Bainahā '’Alā Ṭarīqoti Ahli al-Ḥadīts wa al-Fuqohā, tahqiq. Khalid Abu Shalih, hal. 309-313. Adapun salah satu tokoh
Syiah yang menyatakan bahwa perkara kepemimpinan termasuk rukun iman yaitu
al-Majlisi melalui ungkapannya,
واعتقادنا فيمن جحد إمامة أمير
المؤمنين والأئمة من بعده عليهم السلام بمنزلة من جحد نبوة الأنبياء , واعتقادنا
فيمن أقر بأمير المؤمنين وأنكر واحدا من بعده من الأئمة عليهم السلام أنه بمنزلة
من آمن بجميع الأنبياء ثم أنكر بنبوة محمد صلى الله عليه و أله وسلم
Muhammad Baqir al-Majlisi, Muhammad
al-Majlisi,
Biḥār al-Anwār al-Jāmi’ah Lidurur Akhbār al-Aimmah al-Aṭhar, jilid. 27,
hal. 61. 131-138.
[39] الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
يَا أَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
[40]
Lihat: Ahmad Haris al-Suhaimi, Tautsīq as-Sunnah Baina as-Syīah al-Imāmiyah
wa Ahlus Sunnah fī Aḥkām al-Imāmah wa Nikāḥ al-Mut’ah, hal. 383.
[41] Lihat: Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, tahqiq Abdullah bin Abdul
Muhsin al-Turki, hal. 680-681. Ahmad Haris as-Suhaimi, Tautsīq as-Sunnah
Baina as-Syiah al-Imāmiyah wa Ahlu Sunnah fī Ahkām al-Imāmah wa Nikāḥ al-Mut’ah,
hal. 382-383.
[42]
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jāmi' al-Bayān fī Ta'wīl al-Qur'an, tahqiq.
Ahmad Muhammad Syakir, (Muassasah ar-Risalah, 2000 M), jilid. 9, hal. 517, jilid. 10, hal. 467.
[43] Ahmad Haris as-Suhaimi, Tautsīq as-Sunnah Baina as-Syiah
al-Imāmiyah wa Ahlu Sunnah fī Ahkām al-Imāmah wa Nikāḥ al-Mut’ah, hal. 382-383.
[44] وهذا أمر من الله تعالى ذكره نبيَّه محمدًا
صلى الله عليه وسلم بإبلاغ هؤلاء اليهود والنصارى من أهل الكتابين الذين قصَّ تعالى
ذكره قَصَصهم في هذه السورة، وذكر فيها معايبهم وخُبْثَ أديانهم، واجتراءَهم على ربهم،
….. وأن لا يُشْعر نفسَه حذرًا منهم أن
يُصيبوه في نفسه بمكروهٍ ما قام فيهم بأمر الله، …. فإن
الله تعالى ذكره كافيه كلَّ أحد من خلقه، ….
Muhammad
bin Jarir al-Thabari, Jāmi' al-Bayān fī Ta'wīl al-Qur'an, tahqiq. Ahmad
Muhammad Syakir, jilid.
10, hal. 467.
[45] Lihat: Ibnu Katsir , al-Bidāyah wa an-Nihāyah, (Beirut: Maktabah al-Ma'ārif, 1979), hal.104-105. Ali
Ahmad as-Salus, Aqīdatu
al-Imāmah
'Inda Syīah
al-Itsna 'Asyariyah, (Kairo:
Dār al-I’tishām, 1987 M), hal. 113.
[46] Lihat:, Nashir bin Abdullah Al-Qifari,
Uṣūl Madzhab as-Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah
al-Islmāiyah, 1994 M), hal. 694.
Hadits di atas berasal dari
banyak jalur periwayatan para sahabat, antara lain;
a.
Sa'ad bin Abi Waqhas.
HR. Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, tahqiq. Syu'aib al-Arnauth dkk, (Dār ar-Risālah al-'Alamiyah, 1430 H), no. 121, kitab.
Abwāb as-Sunnah, bab.
Fadhlu Ali bin Abi Thalib, jilid. 7, hal. 88.
b.
Zaid bin Arqam.
HR.
Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, tahqiq dan ta'liq. Ahmad Muhammad Syakir dkk, (Mesir:
Musthofa al Bâbi al-Hilyi, 1395
H), no. 3713, kitab. Abwāb
al-Manāqib, bab. Manaqib
Ali bin Abi Thalib, jilid. 7, hal. 633.
c.
Jabir bin Abdillah dan Abu Ayub al-Anshari.
HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Kitāb al-Muṣanif fī al-Aḥādīts wa al-Atsār, tahqiq. Kamal Yusuf al-Hut, (Riyadh:
Maktabah ar-Rusyd 1409 H), no. 32072 & 32073, kitab.
Al-Fadhāil, bab. Fadhail
Ali bin Abi Thalib, jilid. 6, hal. 366.
d.
Ali bin Abi Thalib.
HR. Ahmad dalam musnad-nya,
tahqiq. Syu'aib al-Arnauth dkk, (Muassasah ar-Risālah, 1421 H), no. 1311, bab. Musnad
Ali bin Abi Thalib, jilid. 2, hal. 434.
e.
Malik bin Huwairits.
HR. Thabrani dalam al-Mu'jam
al-Kabīr, tahqiq. Hamdi bin Abdul Majid, (Kairo:
Maktabah Ibnu Taimiyah, 1415
H), no. 646, bab. Malik bin Huwairits, jilid. 19, hal. 291.
f.
Ibnu Umar.
HR. Thabrani dalam al-Mu'jam
al-Kabīr, tahqiq. Hamdi bin Abdul Majid, (Kairo:
Maktabah Ibnu Taimiyah,
1415 H), no. 13867. Bab. Musnad Ibnu Umar, jilid. 13, hal. 170.
g.
Buraidah bin Hasib.
HR. Nasa’i dalam Sunan al-Kubra, tahqiq. Hasan Abdul Mun'im Syilbi,
(Beirut: Muassasah ar-Risālah, 1421 H), no. 8089, kitab.
Al-Manāqib, bab. Fadhail
Ali bin Abi Thalib, jilid. 7, hal. 309.
[48] Lihat: Nahiruddin Al-Albani,
Silsilah al-Aḥādits as-Ṣaḥīḥah wa Syai'un min Fiqhihā wa Fawāiduhā,
jilid. 4, hal. 330-338.
[49]عَنْ
بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلِيًّا إِلَى خَالِدٍ لِيَقْبِضَ الخُمُسَ، وَكُنْتُ أُبْغِضُ عَلِيًّا
وَقَدِ اغْتَسَلَ، فَقُلْتُ لِخَالِدٍ: أَلاَ تَرَى إِلَى هَذَا، فَلَمَّا قَدِمْنَا
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ:
«يَا بُرَيْدَةُ أَتُبْغِضُ عَلِيًّا؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «لاَ تُبْغِضْهُ فَإِنَّ
لَهُ فِي الخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِك.
HR. Bukhari dalam Ṣahih-nya, tahqiq, Muhammad Zuhair bin Nashir, no. 4350,
bab. Ba'tsu Ali bin Abi Thalib, jilid. 5, hal. 163.
[50] Dinukil dari
buku Tautsīq as-Sunnah Baina as-Syīah al-Imāmiyah wa Ahlus
Sunnah fī Aḥkām al-Imāmah wa Nikāḥ al-Mut’ah karangan Ahmad Haris al-Suhaimi yang menukil dari Ma’āni al-Akhbār karangan Muhammad bin Ali bin Babawaih al-Qummi. Lihat: Ahmad Haris al-Suhaimi, Tautsīq as-Sunnah Baina as-Syīah
al-Imāmiyah wa Ahlus Sunnah fī Aḥkām al-Imāmah wa Nikāḥ al-Mut’ah, hal. 382.
[51] Lihat: Muhammad Husein Fadhlullah, Naẓrotun Islāmiyyatun
Ḥaula al-Ghadīr, (Beirut: al-Markaz al-Islāmy ats-Tsaqafī Masjid al-Imamain al-Huseini, 2003
M),
hal. 69.
[52] قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَعْنِي بِذَلِكَ وَلَاءَ
الْإِسْلَامِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ
آمَنُوا وَأَنَّ الكافرين لا مولى لهم وَقَوْلُ عُمَرَ لِعَلِيٍّ أَصْبَحْتَ
مَوْلَى كُلِّ مُؤْمِنٍ أَيْ وَلِيَّ كُلِّ مُؤْمِنٍ وَقِيلَ سَبَبُ ذَلِكَ أَنَّ
أُسَامَةَ قَالَ لِعَلِيٍّ لَسْتَ مَوْلَايَ إِنَّمَا مولاي رسول الله فقال مَنْ
كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
Ibnu Atsir al-Jazari, an-Nihāyah fī
Gharīb al-Ḥadīts wa al-Atsār, tahqiq
Thahir Ahmad az-Zawi dan Mahmud Muhammad al-Thanahi, (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, 1399 H), jilid. 5, hal. 228-229.
[53] وَقَال الْجَزَرِيُّ
: قَدْ
تَكَرَّرَ ذِكْرُ الْمَوْلَى فِي الْحَدِيثِ وَهُوَ اسْمٌ يَقَعُ عَلَى جَمَاعَةٍ
كَثِيرَةٍ فَهُوَ الرَّبُّ وَالْمَالِكُ وَالسَّيِّدُ وَالْمُنْعِمُ وَالْمُعْتِقُ
والناصر والمحب والتابع والجار وبن الْعَمِّ وَالْحَلِيفُ وَالْعَقِيدُ
وَالصِّهْرُ وَالْعَبْدُ وَالْمُعْتَقُ وَالْمُنْعَمُ عَلَيْهِ وَأَكْثَرُهَا قَدْ
جَاءَ فِي الْحَدِيثِ فَيُضَافُ كُلُّ وَاحِدٍ إِلَى مَا يَقْتَضِيهِ الْحَدِيثُ
الْوَارِدُ فِيهِ وَكُلُّ مَنْ وَلِيَ أَمْرًا أَوْ قَامَ بِهِ فَهُوَ مَوْلَاهُ
وَوَلِيُّهُ وَقَدْ تَخْتَلِفُ مَصَادِرُ هَذِهِ الْأَسْمَاءِ فَالْوَلَايَةُ
بِالْفَتْحِ فِي النَّسَبِ وَالنُّصْرَةِ وَالْمُعْتِقِ وَالْوِلَايَةُ
بِالْكَسْرِ فِي الْإِمَارَةِ وَالْوَلَاءُ فِي الْمُعْتَقِ وَالْمُوَالَاةُ مِنْ
وَالَى الْقَوْمَ وَمِنْهُ الْحَدِيثُ مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
يُحْمَلُ عَلَى أَكْثَرِ الْأَسْمَاءِ الْمَذْكُورَةِ
Ibnu Atsir al-Jazari, an-Nihāyah fī
Gharīb al-Ḥadīts wa al-Atsār, tahqiq
Thahir Ahmad az-Zawi dan Mahmud Muhammad at-Thanahi, jilid. 5, hal. 228-229.
[54] قال علي بن محمد القاري قَالَتِ
الشِّيعَةُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ وَقَالُوا مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ عَلِيًّا
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَسْتَحِقُّ التَّصَرُّفَ فِي كُلِّ مَا يَسْتَحِقُّ الرسول
التَّصَرُّفَ فِيهِ وَمِنْ ذَلِكَ أُمُورُ الْمُؤْمِنِينَ فَيَكُونُ
إِمَامَهُمْ قَالَ الطِّيبِيُّ لَا يَسْتَقِيمُ أَنْ تُحْمَلَ الْوِلَايَةُ عَلَى
الْإِمَامَةِ الَّتِي هِيَ التَّصَرُّفُ فِي أُمُورِ الْمُؤْمِنِينَ لِأَنَّ
الْمُتَصَرِّفَ الْمُسْتَقِلَّ فِي حَيَاتِهِ هُوَ هُوَ لَا غَيْرُهُ فَيَجِبُ
أَنْ يُحْمَلَ عَلَى الْمَحَبَّةِ وَوَلَاءِ الْإِسْلَامِ وَنَحْوِهِمَا
Ali bin Muhammad al-Qari, Mirqāt al-Mafātiḥ Syarḥ Misykāt
al-Maṣābīḥ, (Beirut: Dār al-Fikr 1422 H), jilid. 9, bab. Manaqib Ali, hal. 3937. Lihat
juga; Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri Tuḥfatu al-Aḥwādhi bi Syarḥi Jāmi’ at-Tirmidhi, bab. Manaqib Ali bin Abi Thalib,
no. 3713, jilid. 9, hal. 148. Abu Hamid Muhammad al-Maqdisi,
Risālah fī ar--Radd 'Alā Rafīḍah, tahqiq Saad abdul Ghafar
Ali, (Mesir: Dar Adhwa'u as-Salaf, 2008 M), hal. 79. Ali Ahmad as-Salus, Aqīdatu al-Imāmah 'Inda Syīah al-Itsna 'Asyariyah, hal 140.
[55] فَالْيَوْمَ
لا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَلا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ
هِيَ مَوْلاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
QS al-Hadid 57:15
[56] Lihat: Utsman bin Muhammad
al-Khamis, Ḥiqbatun Min
at-Tārīkh Ma Baina Wafāti an-Nabi Ilā Maqtal al-Ḥusein Sanah 61 Hijriyah, hal. 348.
[57] إِنْ
تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ
فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ
بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
QS. At-Tahrim: 66:4
[58]
Lihat; Utsman bin Muhammad al-Khamis, Ḥiqbatun
Min at-Tārīkh Ma Baina Wafāti an-Nabi Ilā Maqtal al-Ḥusein Sanah 61 Hijriyah, hal. 348. Ismail bin Abad al-Thaqani, al-Muḥīth fī al-Lughah, Tahqiq Muhammad Hasan alu Yasin
(Beirut: Dār an-Nasyr, 1994 M),
jilid 10, hal. 380.
[59] قُرَيْشٌ، وَالأَنْصَارُ،
وَجُهَيْنَةُ، وَمُزَيْنَةُ، وَأَسْلَمُ، وَأَشْجَعُ، وَغِفَارُ مَوَالِيَّ،
لَيْسَ لَهُمْ مَوْلًى دُونَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
HR. Bukhari, Ṣaḥih Bukhari,(Dār Tūq An-Najāh, 1422 H), no. 3504, bab. Manaqib
Quraisy, jilid 4, hal. 179.
[60] Sebagaimana
yang disepakati Syiah
peristiwa Ghadir Khum terjadi pada 18 Dzulhijah 10 H dan wafatnya
Rasulullah pada 28 Shafar 11 H. Artinya, tidak mungkin dengan rentang waktu
yang hanya tujuh puluh harian tersebut seluruh para sahabat melupakan hadits
Ghadir Khum terutama mereka yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah ketika
pengangkatan khalifah Abu Bakar. Lihat: Ahmad Haris as-Suhaimi, Tautsīq
as-Sunnah Baina as-Syīah al-Imāmiyah wa Ahlus Sunnah fī Aḥkām al-Imāmah wa Nikāḥ
al-Mut’ah, hal. 386-387.
[61]
Ibid. 386-387. Lihat juga: Ibnu Abil Hadid, Syarḥ Nahj Balāghah, (Dār
ar-Rasyād al-Hadītsah, tt), Jilid. 1, hal. 132.
[62]Lihat:
, Abdurrahman bin Abi Bakar As-Shuyuthi, Tārīkh al-Khulafā', tahqiq
Muhammad Muhyiddin Abdul hamid, (Mesir: Mathba'ah as-Sa'ādah, 1952 M), hal.
63,119 ,138. Lihat juga; al Muhib at-Thabari, ar-Riyādh an-Nadhrah fī Manāqib
al 'Usyrah, (Maktabah Syamilah), jilid. 1, hal. 109. Abdul Karim 'Akyawi, Juhūd Ulamā' al-Muslimīn
fī Tamyīz Ṣaḥīh as-Sirah an-Nabawiyah min Dha'īfihā, (Maktabah Syamilah),
hal. 34.
“[63] قال علي بن أبي طالب : "أيها الناس
إن خير هذه الأمة بعد نبيه اأبو بكر ثم عمر ولو شئت أن أسمى الثالث لسميت وعنه أنه قال وهو نازل من المنبر ثم عثمان ثم عثمان”
Ibnu katsir, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, jilid. 8, hal.13.
[64] Lihat: Ali Bin Husein al-Hadzli,
Itsbātu
al-Waṣiyah li
al-Imām
Ali bin Abi Thalib,
(Beirut: Dār
al-Adhwā', 1988 M), hal. 153-155
[65] Lihat; Yusuf bin
Muhammad, Aḥādīts Muntakhabah min Maghāzi Mūsa bin ‘Uqbah,
tahqiq Masyhur Hasan Salman, (Muassasah ar-Rayyān: Dār Ibn
Hazm, 1991 M). Jilid. 1, hal. 94. Abdullah bin
Muhammad al-Tamimi, Mukhtaṣar Sīrah Rasūl, (Damasqus: Dār al-Faihā', 1997 M), jilid. 1, hal. 523.
[66] قال علي بن أبي طالب : " وإنا
لنرى ابا بكر أحق الناس بها إنه لصاحب
الغار وثاني اثنين وإنا لنعرف له سنه ولقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم
بالصلاة وهو حي
"
Ibnu Abil Hadid, Syarḥ Nahj
Balāghah, (Dār ar-Rasyad al-Haditsah,
tt), jilid. 1. hal. 132.
[67] قال رجل: أما
قول رسول الله - صلى الله عليه وسلم - «من كنت مولاه فعلي مولاه؟» قال الحسن: لا
والله، إن رسول الله لو أراد الخلافة لقال واضحا وصرح بها كما صرح بالصلاة والزكاة
وقال: يا أيها الناس إن عليا ولي أمركم من بعدي والقائم في الناس بأمري.
Syah Abdul Aziz Ghulam al-Dahlawi, Mukhtaṣar at-Tuḥfah
al-Itsna ‘Asyariyah, tahqiq Muhibbuddin al-Khatib, (Kairo: Mathba’ah
as-Salafiyah,
1373 H), hal. 161. Shalahudin muhammad Nawar, Naẓariyatu al-Khilāfah aw al-Imāmah wa Taṭawwuruhā as-Siyāsi wa ad-Dīni, (Mesir: Mansyaatu al-Ma'ārif, 1996 M), hal. 61-69.
[68]Lihat: Ibrahim bin 'Amir
al-Ruhaili , al-Intiṣār
li as-Ṣahābi
wa al-‘Ali min Iftirāat
as- Samawi ad-Ḍāli, (Maktabah al-Ghuroba,
tt), hal. 78-80.
[69]
Lihat: , Abdurrahman bin Abi Bakar As-Shuyuthi, Tārīkh al-Khulafā',
tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul hamid, (Mesir: Mathba'ah as-Sa'ādah, 1952 M), hal.
63,119 ,138. Lihat juga; al Muhib at-Thabari, ar-Riyādh an-Nadhrah fī Manāqib
al 'Usyrah, (Maktabah Syamilah), jilid. 1, hal. 109. Abdul Karim 'Akyawi, Juhūd
Ulamā' al-Muslimīn fī Tamyīz Ṣaḥīh as-Sirah an-Nabawiyah min Dha'īfihā, (Maktabah
Syamilah), hal. 34.
2 Komentar untuk "Hadits Ghadir Khum dalam Perspektif Ahlus Sunnah wal Jama’ah ( Kritik Terhadap Pandangan Syiah) Oleh: Nofriyanto[1]"
bagus brooooooooooooo
ini bagus untuk di baca maaas broooooowe